Ahmad Dahlan lahir menjadi sang pencerah. Dia pembaru yang mengguncang kesadaran umat pada zamannya. Lahir di Kauman, Yogyakarta, dan wafat dalam usia muda, 54 tahun.
Karya pembaruan terbesarnya ialah Muhammadiyah yang didirikan pada 18 November 1912. Kini, Muhammadiyah telah mengukir kisah sukses untuk memajukan kehidupan bangsa. Charles Kurtzman bahkan menjulukinya sebagai sosok kebangkitan Islam yang liberal.
Di Jombang, Jawa Timur, lahir tokoh besar Islam yang lain, Hasyim Asy’ari. Tokoh pembaruan dunia pesantren itu memberi teladan akan kebesaran hati yang tulus. Suatu ketika, seseorang mengadu kepada Hasyim Asy’ari tentang pemikiran kontroversial Ahmad Dahlan.
Apa reaksi Hadlratus Syekh? “Ahmad Dahlan punya dalil, jangan memusuhinya dan bantulah dia,” ujar pendiri Nahdlatul Ulama itu. Kiai Hasyim Asy’ari tak pernah menyerang Kiai Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya. Begitu pula sebaliknya.
Kedua tokoh besar umat Islam itu memiliki hubungan dekat. Putra Kauman Yogya dan Jombang itu pernah menimba ilmu agama kepada KH Sholeh Darat di Semarang. Ketika bermukim di Makkah, keduanya bahkan sama-sama berguru kepada tokoh utama pembaru Islam, Syekh Khatib al-Minangkabawi.
Dua ulama besar itu lama hidup di negeri Saudi dan memiliki jiwa toleransi yang melintasi. Tidak ada sepercik pun sikap arogansi dan ananiyah untuk saling menegasikan hanya karena berbeda paham dan jalur perjuangan yang dipilih.
Ahmad Dahlan juga berkawan dekat dengan Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, tokoh sentral pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ahmad Dahlan beberapa kali diundang ketua Sarekat Islam (SI) itu untuk memberikan pencerahan Islam yang berkemajuan di hadapan anak-anak muda haus ilmu, seperti Sukarno, Semaun, dan kawan-kawan di kediamannya di Paneleh, Surabaya.
Keduanya bahkan pernah turun ke daerah, tabligh bersama di hadapan umat. Di luar itu, Ahmad Dahlan bersahabat dengan tokoh-tokoh Boedi Oetomo, kalangan sosialis, serta berinteraksi baik dengan tokoh agama lain tanpa rasa canggung.
Memajukan kehidupan
Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Tjokroaminoto, serta tokoh lainnya telah memberi uswah hasanah (teladan yang baik) tentang jiwa besar yang tulus, selain visi besar tentang Islam dan kemajuan hidup. Para tokoh Islam pada kemudian hari melanjutkan tradisi ukhuwah dan toleransi itu.
Mas Mansur dari Muhammadiyah dan Wahab Hasjbullah dari Nahdlatul Ulama bergandengan tangan membidani Partai Islam Indonesia (1937) dan Majelis Islam ‘Ala Indonesia (1938) yang menghimpun kekuatan politik Islam. Kedua wadah umat inilah yang kelak menjadi embrio lahirnya Partai Islam Masyumi pada 1946 hingga 1962. Visi utamanya agar umat bersatu dan berjaya secara politik.
Para pemimpin umat yang berjiwa besar sepanjang sejarah itu berpikir dan bekerja keras untuk kemajuan umat dan bangsanya tanpa pamrih. Mereka hidup bersahaja, tetapi pikiran-pikiran cerdas dan jiwa besarnya telah membangkitkan kesadaran umat untuk hidup berkemajuan.
Mobilitas tinggi para tokoh Islam itu bahkan dikhidmatkan untuk mengurus hajat hidup umat dan negerinya hingga lupa mengurus diri dan keluarganya. Jasa mereka untuk bangsa dan negara bahkan luar biasa tanpa mengharapkan balasan, ada di antaranya, Ki Bagus Hadikusuma, Mr Kasman Singodimedjo, dan Prof Kahar Mudzakir—Allahumma yarham—hingga kini belum dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah.
Kini, umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan sejagad hidup pada fase baru abad modern. Masalah dan tantangan mengadang di depan yang sarat beban dan harapan. Umat dan bangsa ini harus dipacu untuk maju di segala bidang kehidupan agar sejajar dan bahkan unggul dibanding umat dan bangsa lain.
Kemajuan menjadi jantung strategis bagi tegaknya peradaban sebagai manifestasi kekhalifahan dan risalah rahmatan lil ‘alamin. Tanpa kemajuan, suatu umat dan bangsa hanya mampu bertahan hidup, bahkan lama-kelamaan punah.
Islam itu sungguh agama yang berkemajuan, din al-hadlarah. Islam mengajarkan agar umatnya menjadi khayra ummah (QS Ali Imran [3]: 110). Menjadi generasi ulul albab (QS Ali Imran [3]: 190-191) dan pandai membaca tanda-tanda zaman (QS Iqra [96]: 1-5).
Islam juga mengajarkan umatnya agar menjadi khalifah di muka bumi (QS al-Baqarah [2]: 30 dan Hud: 60), menjadi pelaku perubahan (QS al-Ahzab: 21), menjadi kelompok yang sadar akan masa depan (QS al-Hasyr: 18). Pendek kata, Islam mengajarkan umatnya hidup jaya di dunia dan bahagia di akhirat.
Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan, pada setiap pergantian abad, lahir para mujadid di muka bumi yang memperbaiki agamanya. Nabi dan kaum Muslimin yang dipimpinnya bahkan hadir untuk takhrij min al-zhulumat ila al-nur, mengeluarkan umat manusia dari kegelapan menuju pencerahan.
Nabi akhir zaman itu bahkan mengubah Yatsrib yang semula komunal pedesaan menjadi pusat peradaban yang cerah dan mencerahkan, al-Madinah al-Munawwarah. Dari Madinah itulah, kemudian Islam menguasai dunia dan melahirkan era kejayaan berabad-abad lamanya ketika bangsa-bangsa lain tertidur lelap pada abad kegelapan.
Jihad pemimpin
Kemajuan merupakan keniscayaan bagi umat dan bangsa ini. Meraih kemajuan merupakan jalan jihad yang melintasi. Berlomba dengan bangsa-bangsa lain harus menjadi etos fastabiq al-khayrat.
Di sinilah keniscayaan para tokoh atau pemimpin umat yang sesungguhnya, yakni menjadi lokomotif jihad meraih kenggulan dan kemajuan. Menjadi penggerak pencerahan yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan. Bukan sebaliknya, menjadi pemimpin umat yang membelenggu, memperdaya, dan membodohi umat demi mengawetkan kemapanan dirinya.
Umat Islam di negeri ini banyak yang masih rentan secara ekonomi. Mereka berhadapan dengan berbagai tekanan hidup yang sangat berat. Apa yang dapat diperbuat jika umat masih dhuafa-mustadh’afin? Kondisi umat yang ringkih cenderung yadus-sufla (tangan di bawah, penerima) ketimbang yadul-'ala (tangan di atas, pemberi).
Lebih banyak menjadi objek ketimbang subjek. Umat yang lemah tentu tidak akan menjadi pilar peradaban Islam yang berkemajuan. Jangankan untuk menjadi rahmatan lil-‘alamin, bahkan untuk mengurusi dirinya pun tertatih-tatih.
Para tokoh Islam perlu siuman secara berjamaah atas kenyataan hidup umat yang rentan dan ringkih itu. Seraya berpikir dan bekerja keras bagaimana membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan mereka menuju kondisi yang berkeunggulan.
Menjadikan umat mencapai derajat kehidupan yang maju, bersatu, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat di hadapan umat dan bangsa lain. Itulah jihad pencerahan yang berada di pundak para tokoh Islam lintas gerakan di negeri ini. Baik jihad bi al-fikri maupun jihad bi al-fi'li secara total.
Pemimpin umat Islam saat ini niscaya agar progresif dan membumi, plus bekhidmat sepenuh hati. Antarpemimpin umat harus tasamuh dan tanawu’ seraya saling mendekat dan bergandengan tangan setulus hati.
Cerahkan umat dengan pikiran-pikiran jernih yang mencerdaskan kehidupan dan tegaknya akhlak mulia. “Para pemimpin perlu memudakan pemikiran dan mengembangkan Islam progresif,” kata Sukarno. “Jadilah pemimpin umat meneladani Nabi yang tidur di atas alas tikar, tetapi jelajahnya mengguncang tahta Kisra,” tulis Iqbal.
Maka, sungguh ironis manakala masih dijumpai pemimpin umat alergi pikiran-pikiran maju dan tidak membumi pada realitas kehidupan. Apabila mereka lebih banyak bicara ketimbang bekerja. Ketika bargairah tinggi dalam mobilitas masing-masing tanpa menyatukan pikiran dan langkah kolektif yang sinergis.
Para pemimpin politiknya lebih sibuk mengurus diri ketimbang melayani umat. Tatkala para ulamanya terus memproduksi fatwa, pendapat, dan pandangan yang kontraproduktif serta mengandung antmosfir saling menyesatkan.
Apalagi, kalau para tokoh umat itu saling berseberangan dan menunjukkan gestur permusuhan diam-diam. Hasil akhirnya mudah ditebak bahwa korbannya ialah umat. Umat Islam akan tetap hidup tertinggal di zona dhuafa-mustadhafin.
Dr. H. Haedar Nashir, M.Si
sumber ; republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar